Monday, November 20, 2006

Bangku Kosong


Gerbang sekolah SMA Permata Putri, siswi-siswi berhamburan masuk ke ruang kelas masing-masing. Dinda (Adhitya Putri), salah seorang siswi berkacamata minus bergegas seperti yang lain. Tapi langkahnya terhenti oleh Destin, Nancy dan Adela, tiga siswi anak penyumbang dana terbesar Yayasan Permata Putri. Tanpa jelas juntrungannya mereka memaki-maki Dinda, merenggut kacamatanya, melempar dan menginjaknya secara semena-mena. Menjambak rambut Dinda seraya mengancam akan menindasnya lebih kejam jika Dinda tak memberikan contekan dan mengadu pada Ibu Janet. Mereka meninggalkan Dinda yang jatuh tersimpuh dan tersedu tanpa ada yang mempedulikan.

Adegan tersebut merupakan pembuka film “Bangku Kosong”, sebuah film horor terbaru yang memperpanjang daftar film horor Indonesia yang beredar tahun ini. Dari adegan pembuka tersebut penonton sudah disodori absennya akal sehat di film ini. Dan ini merupakan cerminan kacau balaunya cara berpikir penulis skenario dalam merangkai dialog dan plot, dan lemahnya kemampuan sutradara mengarahkan para pemain.

Adegan demi adegan yang bergulir berikutnya makin menampakkan absennya logika dan akal sehat. Tampak antara lain dari Clara yang dibunuh oleh Mila, mayatnya yang dinyatakan hilang ternyata disimpan Radith (Tities Saputra) di entah gudang entah apa dekat rumahnya selama empat tahun tanpa menjadi busuk dan diketahui orang sekitarnya. Namun suatu malam dengan mudah Ibu Guru Grace (VJ Cathy) dan Dinda masuk dan memergoki Radith sedang memeluk mayat Clara yang mengenakan gaun pengantin. Kemudian kenapa pula si Mila mesti gantung diri dan membunuhi siapa saja yang mencoba mengganggu bangku kosong tempat duduk Clara dulu?

Maka penonton segera tahu, mereka sedang disuguhi sinetron versi layar lebar. Dengan demikian jika mau aman penonton harus rela menikmati tontonan ini tanpa menggunakan akal sehat mereka. Namun celakanya, meskipun sudah menanggalkan akal sehat film ini tetap aja tidak memberikan rasa takut sebagai hiburan, yang diperoleh justru perasaan geli. Hampir semua adegan yang maksudnya menegangkan yang tampak justru kelucuan yang mengharukan. Kelebat wajah hantu wanita penuh sayatan sama sekali menggelikan. Juga hasrat berteka-teki yang mencoba disodorkan, lebih banyak melelahkan ketimbang memancing rasa penasaran. Ini masih ditambah beberapa adegan yang lambat dengan ilustrasi musik yang begitu bising.

Sepanjang film penonton hanya disodori akting marah-marah, ketakutan, cibiran, dan sederet adegan teriakan, tangisan tanpa kejelasan kenapa harus demikian. Semuanya terkesan tiba-tiba dan tanpa juntrungan. Nyaris tidak ada satu elemen pun yang mampu menyelamatkan film ini kecuali angle pengambilan gambar, special efek hujan, dan barangkali penataan cahaya. Namun kedua elemen ini tidak hadir secara istimewa. Alias standar saja.

Secara keseluruhan penggarapan film ini menyedihkan. Akting para pemainnya di bawah standar. Penampilan penyanyi Reza Artamevia pun tak menolong apa-apa, selain menimbulkan pertanyaan, semudah itu rupanya seorang guru menyerah menghadapi kenakalan anak murid, meminta mundur kepada kepala sekolah dengan ekspresi luar biasa datar.

0 comments: