Tuesday, July 03, 2007

Obat Palsu di Tubuh Kita

Obat yang mahal adalah obat yang tidak bekerja sesuai khasiat. Mungkin saja Anda setuju dengan pernyataan tersebut setelah mengetahui hasil penelusuran tim Sigi, belum lama ini. Banyak kandungan obat tidak sesuai standar atau yang terkategorikan obat palsu. Bagi yang mengonsumsinya pun tidak kembali pulih seperti yang diharapkan.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melansir, sejak 1999 hingga 2006 jumlah obat palsu yang beredar di pasaran Indonesia mencapai 81 merek. Obat tersebut dijual mulai yang bebas di warung-warung sampai obat bermerek yang harganya menjulang tinggi. "Obat hipertensi, diabetes, antibiotik, dan sakit kepala," kata Shanty Sandasai, Manajer Dewan Bisnis USA-ASEAN.

Peredaran obat palsu yang mengalir deras tidak hanya membuat kocek para pengguna obat merugi karena harus terus membeli obat tak berkhasiat. Lebih dari itu, keuangan negara juga dirugikan lantaran kehilangan pemasukan yang tidak sedikit. Badan Kesehatan Dunia (WHO) melansir, jumlah kerugian akibat obat palsu di Indonesia mencapai Rp 3 triliun per tahun. Jumlah yang sepadan dengan subsidi kesehatan bagi enam juta orang miskin di republik ini.

Para praktisi hingga pebisnis obat, bahkan menduga jumlah peredaran obat palsu di Tanah Air jauh lebih besar yang dilansir WHO. Mereka memperkirakan ada 10 persen dari jumlah keseluruhan peredaran obat setiap tahunnya.

Penggunaan obat palsu tentu membawa dampak serius bagi penderita penyakit tertentu. "Orang mengira memakan 500 miligram antibiotika, ternyata dia hanya memakan 250 miligram. Sehingga kuman yang seharusnya dimatikan oleh antibiotika itu jadi kebal resisten," ujar Kartono Mohamad, mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia.

Selain kadar obat yang dikurangi, obat palsu juga terbuat hanya dari tepung yang tidak berfungsi untuk menyembuhkan. Tepung memang tidak membahayakan pasien. Namun bila orang yang sekarat bisa meninggal dunia karena mengonsumsi obat yang tidak ada khasiatnya.

Tengoklah pengakuan Ida Loenggana yang biasa mengonsumsi obat saat haid karena sakit. Suatu kali Ida pernah sakit perutnya tak kunjung sembuh setelah meminum obat penghilang rasa sakit. Padahal dia telah meminumnya sampai tiga tablet dalam sehari.

Keadaan ini membuat tim Sigi mencoba menelusuri peredaran obat palsu mulai dari kelas warungan hingga obat bermerek dengan harga tinggi yang dijual bebas di sentra-sentra penjual obat. Obat kuat pemacu aktivitas seksual yang marak dijual di pinggir-pinggir jalan pun tak luput tim Sigi telusuri. Salah satunya penjualan obat bermerek nan mahal yang dicurigai palsu di sebuah pasar obat di kawasan Jakarta Timur. Hasilnya, beberapa obat yang diduga tidak asli memiliki kesamaan dengan sejumlah obat yang dinyatakan palsu oleh Badan POM [baca: Kala Para Pria Mendambakan Keperkasaan].

Sebenarnya, Badan POM gencar menggelar razia obat palsu. Tapi razia demi razia tidak membuat jera para pemalsu. Sedangkan Badan POM belum mampu membongkar otak di balik peredaran obat palsu. Dari puluhan kasus obat palsu dalam kurun waktu 2003 hingga 2006, hampir semua tersangka berstatus sebagai pengedar dan penjual. "Yang namanya pabrik gelap, mereka beroperasinya di bawah tanah, Jadi sulit untuk melacaknya," kata Weddy Mallian, Kepala Pusat Penyidikan Obat dan Makanan BPOM.

Parulian Simanjuntak, Manajer Eksekutif International Pharmaceutical Manufacturer Group (IPMG) mengaku tidak heran para pemalsu tak kapok beroperasi. Sebab, para pelaku tidak dihukum cukup berat.

Membuat obat palsu memang tidak rumit, apalagi untuk jenis kapsul. Tepung tinggal dimasukkan ke dalam kemasan kapsul. Bahkan, tak jarang obat palsu dengan label dari luar negeri. Alasannya, untuk meyakinkan masyarakat bahwa obat tersebut berkualitas bagus karena dari luar negeri. "Di Indonesia, pemalsu obat sudah lihai. Sampai kemasan, aluminium foil dan hologramnya dibikin palsu," kata Kartono.

Obat palsu yang dibuat di luar negeri diselundupkan ke Indonesia melalui jalur udara dan laut. Parahnya, terkadang obat palsu diproduksi secara ngawur dan jauh dari unsur higienis. Sebuah mesin pencetak obat di Cina, misalnya, tampak sangat kotor dan tak beraturan. Begitu pula dengan mesin pengemas obat yang terlihat sangat manual dan sederhana. Selain dari Cina dan India, Viagra palsu yang diproduksi di Thailand juga beredar di pasaran Indonesia secara gencar.

Ada pula pemalsuan obat dengan cara mengubah kemasan obat dari obat generik ke merek ternama. Obat generik yang per butir seharga belasan ribu rupiah pun menjadi obat bermerek dengan harga jauh lebih mahal.

Menurut Hendrik, pemalsu obat, pada awalnya obat-obat dipasarkan ke sentra-sentra pasar obat atau toko obat. Namun saat ini peredarannya telah memasuki wilayah kios dan warung biasa. Pernyataan Hendrik diamini Weddy. "Pasar Pramuka dan Pasar Rawa Bening, di mana di sana banyak toko yang menjual obat keras tanpa hak dan kewenangan," ungkap Weddy. Pasar Pramuka, Jaktim, terdapat lebih dari 400 toko obat. Mereka menjual berbagai macam obat dari yang biasa-biasa saja hingga obat berkategori keras tanpa melalui resep dokter.

Pemahaman masyarakat akan obat palsu yang minim juga membuat peredaran obat jenis ini tetap marak. Hendrik mengaku kadang penjual obat tidak mengetahui barang yang ditawarkan palsu. Namun Hendrik mengatakan, terkadang si pemalsu memberitahukan kepada sang pedagang. "Harganya sepertiga dari obat yang asli. Si penjual, untuk menghindari kesan palsu, obat dijual setara dengan obat yang asli," terang Hendrik. Dia menambahkan, dengan cara seperti ini pedagang meraup untung 60 sampai 70 persen.

Edy Haryanto, Ketua Himpunan Pedagang Farmasi Pasar Pramuka membantah tudingan tersebut. Edy mengatakan telah melarang anggotanya menjual obat palsu sejak beberapa tahun silam. Lebih jauh Edy menjelaskan, saat itu marak penjualan narkotik dan obat-obatan berbahaya. Selain berjanji ikut mengawasi peredaran obat palsu, Edy juga mengatakan tidak lama lagi toko obat akan berubah menjadi apotek sederhana.

Obat palsu atau dalam istilah medis disebut counterfeit drug bisa dilihat dari beberapa ciri. Namun tidak semua orang mampu melihat dan menguji dengan mata telanjang. Terlebih jika orang tersebut awam dalam urusan obat-obatan. "Kalau orang awam termasuk dokter ataupun apoteker tidak bisa," kata Kartono.

Kepala Pusat Penyidikan Obat dan Makanan BPOM Weddy mengatakan tidak semua obat memang bisa dibedakan secara fisik. Tapi setidaknya dapat dilihat nomor registrasi pada kemasan obat atau kalau perlu ditanyakan keaslian dokumen. Penjelasan serupa diungkapkan seorang apoteker perpengalaman. Dia bahkan membocorkan bahwa tablet yang kemasannya berbanjar ke atas dan bawah adalah palsu. Seharusnya yang asli lebih miring posisinya. Sedangkan pada tulisan kemasan berwarna cokelat untuk yang asli dan palsu berwarna hitam.

Lebih lanjut sang apoteker yang tidak bersedia mengungkap identitasnya mengatakan, tablet yang palsu mudah patah. Sedangkan gerigi pada sisi kemasan yang palsu lebih kasar dari yang asli.

Mengingat sangat sulit membedakan obat yang palsu dengan yang asli, tim Sigi kemudian menyerahkan sejumlah obat yang telah dibeli ke Pusat Laboratorium Obat dan Makanan BPOM. Obat itu kemudian, dibandingkan dengan obat asli. Di antaranya meliputi bentuk kemasan, warna kemasan, ukuran, bentuk tulisan, komposisi, tanggal produksi, penutup atau segel, label, dan brosur.

Tahap selanjutnya, pengujian organoleptic atau metode pengujian reaksi warna. Terakhir, kromatografis lapis tipis, pemeriksaan pH, keragaman bobot, kandungan, hingga pemeriksaan kadar. "Secara umum kebanyakan sampel positif [palsu]. Tapi substandar, artinya kadar lebih rendah atau lebih tinggi yang ditentukan," Ani Sulistyowati, Kepala Bidang Pengujian Produk dan Tanda Petik BPOM menjelaskan. Ani menambahkan, bagi orang yang mengonsumsi obat dengan kadar lebih redah, tidak akan sembuh. Sedangkan yang memakan obat dengan dosis lebih tinggi, bisa keracunan.

Hasil penelusuran ini menunjukkan obat-obat palsu tak berkhasiat sangat marak di pasaran dan nyata-nyata berbahaya bagi pasien penderita penyakit tertentu. Ini berarti obat-obat palsu sudah lama mengendap dalam tubuh kita. (DNP/Tim Sigi SCTV)

0 comments: