Tuesday, July 03, 2007

Glonggongan, Daging Sapi Berkualitas Bangkai

Sepanjang bulan Ramadan serta menjelang Lebaran, pasar daging di Boyolali, Jawa Tengah, terus diserbu warga. Wajar saja, sebagai sentra penghasil daging terbesar di Jateng, setidaknya setiap hari ada 150 ekor sapi dipotong di rumah pemotongan hewan (RPH) di Boyolali. Daging-daging itu kemudian didistribusikan ke berbagai pasar tradisional yang ada di kota lain di Jateng seperti Solo, Salatiga, Yogyakarta dan Semarang.

Hanya saja, tidak semua daging yang ada di pasar itu sehat. Sangat mungkin di antaranya terdapat juga daging glonggongan alias daging basah. Disebut daging glonggongan karena sebelum disembelih sapi diberi minum hingga kembung dan lemas. Tujuannya tak lain agar berat daging yang dihasilkan lebih dari berat normalnya karena sudah bercampur air. Penelitian yang dilakukan Dinas Pertanian Jateng juga mengatakan daging glonggongan tidak sehat bagi manusia dan kualitasnya sama dengan bangkai.

Selain tidak sehat, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jateng juga telah menyatakan daging ini haram. Menurut Sekretaris Jenderal MUI Jateng Dr. Ahmad Rofiq, menyembelih hewan haruslah dilakukan dengan sebaik-baiknya. Selain menggunakan pisau yang tajam juga tidak boleh dianiaya. "Sementara glonggongan, [sapi] kadang dipukuli dulu, ini berarti sudah haram," tegasnya.

Karena itu setiap menjelang Lebaran Pemprov Jateng sibuk merazia tempat penjualan daging-daging glonggongan. Pasalnya daging-daging ini diperkirakan akan membanjiri pasar seiring dengan meningkatnya permintaan menjelang Lebaran. Apalagi harganya di pasaran lumayan miring, lebih murah Rp 5.000 dari harga daging kering.

Seperti pekan silam, Tim SIGI mengikuti razia yang digelar Dinas Pertanian Kota Semarang. Pertama kali rombongan menuju Pasar Wonodri. Mobil yang datang membawa daging ke pasar ini diperiksa kelengkapan surat-suratnya. Para petugas juga memeriksa surat keterangan sehat dari RPH yang memotong sapi-sapi tersebut serta cap dari RPH yang tertera pada daging sapi.

Setelah beberapa kali pemeriksaan petugas tidak menemukan adanya daging sapi basah di pasar ini. Rombongan lalu beralih menuju Pasar Johar, Semarang. Di salah satu kios penjualan daging petugas kemudian menemukan daging glonggongan. Daging itu terlihat basah dan meneteskan air bila digantung. Petugas menduga daging ini dicampur dengan daging yang dipotong di RPH Ampel, Boyolali.

Tak hanya di Semarang, Tim SIGI juga menemukan peredaran daging basah ini Pasar Salatiga. Daging tersebut dijual dengan harga yang lebih murah dari harga daging kering. "Keuntungan menjual daging ini memang sangat menggiurkan pedagang," ujar Joko Waluyo, Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Boyolali.

Penelusuran lebih jauh yang dilakukan Tim SIGI menemukan fakta bahwa daging-daging glonggongan itu umumnya dihasilkan di daerah Ampel. Praktik pengglonggongan dilakukan secara tersembunyi di rumah-rumah tukang jagal hewan. Pasalnya cara ini sekarang tidak lagi dilegalkan seperti di masa lalu.

Dulu, asal muasal pengglonggongan sudah terjadi sejak awal sapi diperjualbelikan. Sapi biasanya diberikan minum hingga bengkak lalu baru dibawa ke pasar. Sapi yang terjual kemudian dibawa ke RPH untuk dipotong. Namun kini pemotongan sapi glonggongan tidak lagi dilakukan RPH. Sejak Maret silam RPH Boyolali hanya mengizinkan pemotongan daging sapi kering.

Kendati demikian para jagal tampaknya tak kehilangan akal. Mereka tetap memotong sapi glonggongan secara sembunyi-sembunyi di rumah meski jelas-jelas dilarang. Di sebuah rumah tukang jagal terlihat dua ekor sapi dengan posisi kaki depan berdiri lebih tinggi daripada kaki belakang. Dengan posisi seperti itu sapi-sapi ini dipaksa minum sebanyak-banyaknya. Penyiksaan ini bisa berlangsung hingga empat sampai enam jam sebelum sapi dipotong.

Sebagai bahan pangan yang bergizi, sejatinya daging sapi memiliki kandungan protein dan asam amino esensial yang lengkap dan seimbang. Selain itu protein daging juga lebih mudah dicerna ketimbang yang berasal dari nabati.

Namun seperti disebutkan Kepala Subdinas Produksi Dinas Pertanian Kota Semarang, Sutrisno Djatmoko, kualitas daging ditentukan saat hewan tersebut dipotong. Agar kualitasnya baik sapi yang dipotong harus memenuhi standar pemotongan. Sementara pemotongan sapi glonggongan terbukti tidak sehat dan mengkonsumsinya justru bisa merusak kesehatan. "Sapi-sapi yang diglonggong itu umumnya akan menghasilkan hormon adrenalin," jelas Sutrisno.

Sementara untuk cara pemotongan yang dinilai sehat, pertama sapi yang hendak dipotong harus bisa berjalan tegak untuk menandakan sapi tersebut dalam kondisi sehat dan siap dipotong. Selain itu sapi yang hendak disembelih juga harus dalam kondisi tenang dan tidak stres. Saat akan dipotong kedua kaki sapi diikat dan dirobohkan. "Pemotongan dilakukan pada jalan napas dan makanan tanpa mengangkat pisau atau sekali potong. Hal ini untuk mengurangi rasa sakit," jelas Agus Wiryatmo, Kepala RPH Ampel.

Jadi, jika saat berbelanja di pasar Anda melihat tumpukan daging yang sangat basah serta berwarna merah muda, patutlah untuk curiga. Pasalnya daging sapi yang sehat umumnya berwarna merah tua dan kering. Alih-alih bisa makan enak di saat Lebaran, Anda malah mengundang datangnya penyakit jika tetap memaksa membeli daging yang lebih murah namun berkualitas bangkai.(ADO/Edi Chan dan Agus Priyatno)

0 comments: