Tuesday, July 03, 2007

Jamu Kimia Tiada Mati...!

Badan Pengawas Obat dan Makanan mulai Selasa (5/12) melarang peredaran 93 merek jamu karena terbukti dioplos bahan kimia obat berbahaya. Puluhan jamu tersebut mengandung fenilbutason, metampiron, deksametason, CTM, allupurionol, sildenafil sitrat, sibutramin hidroklorida, dan parasetamol.

Temuan terbaru ini tentunya menambah panjang daftar jamu oplosan yang beredar luas di pasaran. Padahal tidak sedikit jamu ini laris dibeli konsumen sebab dinilai cespleng walau hanya sekali tenggak. Selain itu, harganya relatif terjangkau. Untuk satu dus isi 10 sachet cuma dijual sekitar Rp 10 ribu.

Bagaimana sesungguhnya jamu-jamu oplosan ini diracik? Sangat sederhana. Lewat seorang pengusaha jamu dengan merek lumayan ngetop di Cilacap, Jawa Tengah, kamera Tim Sigi berhasil merekam proses produksi. Mula-mula peracik jamu berbelanja ke pedagang obat besar yang khusus melayani pemain jamu kimia. Setelah itu puluhan ribu butir obat seperti CTM, fenilbutason, deksametason, parasetamol, dan vitamin B12 dicampur satu kuintal tepung jamu.

Sesudah obat-obatan ini menjadi tepung halus, lalu dicampur tepung jamu. Takarannya tergantung si peracik. Meski demikian, agar tak kalah dengan pabrikan jamu besar, kemasan dibuat rapi dan menarik. Edannya, walau dioplos bahan kimia obat, namun jamu abal-abal ini tak semuanya ilegal.

Sebagian ternyata punya register atau nomor TR resmi yang dikeluarkan Badan POM. Maklumlah izin mendirikan pabrik jamu bukan hal yang susah bagi mereka. Apalagi omzet penjualan sangat tinggi. Karena itu jika satu produk ditarik Badan POM, pembuat jamu oplosan dapat segera mengajukan nomor register baru lengkap beserta merek jamu yang berbeda. Begitu seterusnya.

Hal lain, para pemain di bisnis ini dibeking pula sejumlah orang besar di negeri ini. Alhasil meski jamu oplosan obat sudah ditemukan sejak 20 tahun lalu, toh jamu bohong-bohongan ini akan tetap muncul dengan merek berganti-ganti. Memang praktik mengoplos ini mudah ditemukan di Cilacap, kota sentra jamu yang disebut Badan POM sebagai daerah penghasil jamu kimia terbesar.

Yang mengherankan, obat seperti fenilbutason, CTM, dan sildenafil sitrat masuk kategori keras dan berbahaya serta penggunaannya harus diawasi dokter, mudah didapat. Kenyataannya penjual bahan kimia obat jenis ini biasa mendapatkannya dari pedagang besar farmasi di Bandung, Jawa Barat, dan Jakarta. Mengenai hal ini, pihak Badan POM menyebut obat-obatan itu diperoleh dari pasar obat tak resmi.

Tim Sigi mendapati salah satu obat yang banyak diperjualbelikan para peracik jamu kimia di Cilacap berlogo perusahaan farmasi PT Triman Pharmaceutical Bandung. Sigi lalu mendatangi perusahaan itu dan mencoba mengonfirmasi benar tidaknya obat ini diproduksi mereka. Namun seorang karyawati setempat menyebutkan, untuk itu harus ada izin dari pimpinan terlebih dahulu.

Suhardja Nataatmadja, Ketua GP Farmasi Jabar, mengakui PT Triman terdaftar sebagai anggota mereka. Namun Suhardja tidak bisa menjamin keaslian obat yang diperjualbelikan para peracik jamu Cilacap--sejumlah pengusaha jamu di kota ini memang sekaligus menjadi pengepul bahan kimia obat--adalah asli buatan Triman. Tapi penelusuran lebih lanjut Tim Sigi di Kota Kembang menemukan fakta lain.

Ternyata obat-obat keras berbagai merek sangat mudah didapatkan meski tanpa selembar resep dokter. Bahkan transaksi itu terjadi di sejumlah apotik yang mestinya tak dibenarkan menjual kepada sembarang orang. Menanggapi hal ini, Suhardja menyayangkan. "Tetapi inilah yang terjadi di Indonesia," kata Suhardja.

Di Jakarta lain lagi ceritanya. Obat-obat serupa diperdagangkan grosiran di Pasar Pramuka, termasuk ke pedagang jamu oplosan. Pasar di kawasan Jakarta Timur ini disinyalir pihak Badan POM merupakan pasar obat terbesar se-Asia Tenggara. Pemantauan Tim Sigi, mobil boks yang menurunkan dagangan obat-obatan menjadi pemandangan sehari-hari di kawasan ini.

Di sini beragam obat seperti CTM, parasetamol, deksametason, antalgin, dan fenilbutason bahkan sildenafil sitrat yang menjadi bahan kimia favorit para peracik jamu oplosan bebas dijual. Harga yang ditawarkan juga sangat murah. Untuk memberantas pasar gelap ini, Husniah R. Thamrin, Ketua Badan POM bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi DKI. "Saya telah membuat satu kerjasama dengan Wagub DKI," jelas perempuan berkacamata ini.

Dengan fakta seperti itu Tim Sigi menyimpulkan telah terjadi kebocoran distribusi obat-obat keras dalam jumlah yang sangat besar dan masif. Angka bisnis obat tak resmi itu ditaksir mencapai Rp 2 miliar per hari. Bisnis besar ini diyakini pihak GP Jamu terjadi karena adanya permainan aparat dan orang dalam farmasi.

Namun perusahaan farmasi punya alibi. Menurut pihak perusahaan, mereka tak pernah menjual langsung kepada konsumen, melainkan lewat pihak lain. Apa pun alasannya, kebocoran distribusi obat ke para pengusaha jamu nakal merupakan hal yang tak terbantahkan. Pedagang di Pasar Pramuka juga tak membantah kemungkinan ada peracik jamu yang membeli di tempat mereka berjualan.

Kini muncul gagasan mulai awal tahun depan para pedagang obat di Pramuka akan diwajibkan menjadi apotik jika akan menjual obat-obatan keras atau obat etical yang harus dikeluarkan dengan resep dokter.

Sebenarnya genderang perang melawan peredaran jamu kimia telah ditabuh pemerintah sejak beberapa tahun lalu. Tapi perang toh belum usai. Bahkan ada kesan pemerintah kalah sigap dengan lawan mereka.

Jumat pekan lalu, misalnya, satu truk obat-obatan dan jamu yang diduga kuat telah dioplos dengan bahan kimia berbahaya ditangkap penyidik Balai POM Semarang, Jateng. Barang oplosan ini disita sesaat sebelum dikirim pemiliknya lewat perusahaan pengiriman barang Dakota, Purwokerto. Namun seperti kebanyakan hasil operasi polisi, barang itu terazia sebagai barang anonim alias tak disertai pemilik. Petugas Dakota setempat mengaku tak punya arsip nota pengirim barang.

Pekan yang sama, Balai POM Jakarta merazia pula satu truk aneka jamu kimia berbagai merek. Lagi-lagi tak ada tersangka yang diciduk. Diduga, sulitnya memberantas jamu oplosan ini karena perputaran uang cukup besar yakni mencapai Rp 4 triliun per tahun membuat banyak orang tergiur. Manajer sebuah pedagang besar farmasi menyebutkan, bagi para pedagang obat yang penting adalah ada uang, ada barang.

Bagi para pengusaha jamu murni, hal ini tidak hanya merugikan citra produk secara nasional. Tapi mengurangi kepercayaan konsumen yang berharap sehat setelah minum jamu. Kadir, pelawak senior Srimulat punya pengalaman mengenaskan sehabis mengonsumsi jamu oplosan. Alih-alih sembuh dari sakit maag, ia malah kena penyakit lain. "Darah saya naik terus," ujar pelawak berambut keriting ini.

Kini obat tradisional, jamu atau apalah namanya di banyak negara maju kian dilirik karena sifatnya yang alami dan tak berefek samping. Tapi apalah jadinya jika para empu jamu di Tanah Air mengotori warisan leluhur sendiri dengan mencampuri obat beracun secara serampangan. Di sisi lain, hukum seperti tak mampu membuat mereka jera.(MAK/Tim Sigi)

0 comments: