Namun, jangan anggap enteng aksi mereka. Sampah-sampah itu ternyata mengundang munculnya sindikat pemalsu obat. Sampah itu disulap menjadi obat-obatan. Namanya juga sampah, tentu obat-obatan yang dihasilkan palsu adanya. Dunia medis pun kini tercoreng karenanya.
Jumat silam, misalnya, personel Kepolisian Daerah Bali menangkap Mustaji sedang berjualan obat bekas. Dari tersangka disita lebih dari 220 jenis obat daftar G. Mustaji mengaku, obat-obat bekas itu dibeli dari para pemulung yang memungut sampah di rumah sakit. Yang lebih seram, obat-obat itu ia jual keliling dari rumah ke rumah dengan harga murah.
Lain Bali, lain pula Jakarta. Personel Kepolisian Resor Jakarta Pusat beberapa waktu silam membongkar sindikat pemalsu obat. Para pelaku ternyata sangat piawai memalsukan obat-obat penting. Mulai dari cairan infus hingga obat tekanan darah tinggi maupun serangan jantung.
Obat-obatan berkelas sampah yang berhasil disita polisi jumlahnya mencapai ribuan butir dan dari berbagai merek serta jenis obat. Mulai dari cairan infus, antibiotik injeksi, vaksin hepatitis B, hingga obat-obatan keras untuk penyakit tekanan darah tinggi, jantung, dan lain-lain.
Awalnya, polisi menangkap Muhtar alias Tatang yang tinggal kawasan Kayumanis, Jakarta Timur. Di rumah kontrakannya, polisi mendapati 21 jenis obat kedaluwarsa yang sudah disulap menjadi layaknya obat sungguhan.
Jejaring sindikat obat palsu Tatang ternyata tidak hanya beroperasi di Jakarta. Alat suntik dan obat-obatan palsu produksi Tatang ternyata diperjualbelikan hingga ke Jawa Tengah serta Jawa Timur. Polisi mencurigai, obat palsu van Tatang juga beredar ke berbagai pelosok daerah lainnya di Tanah Air.
Bagaimana mereka memalsukan obat-obat sampah? Ada tiga modus, yakni mengganti tanggal kedaluwarsa, mengganti label kemasan, dan memasukkan cairan asal ke dalam botol-botol infus atau injeksi. Bila dilihat sepintas, obat palsu buatan Muhtar dan kawan-kawan nyaris sempurna menyerupai yang asli. Tapi, namanya juga sampah tentu tak bisa menjadi obat.
Pemalsuan obat dengan modus memanfaatkan obat bekas dan kedaluwarsa juga terbongkar di Balikpapan, Kalimantan Timur. Awal Maret silam, lebih dari 80 ribu obat kedaluwarsa berbagai jenis seperti antibiotik, obat asma, hingga obat stroke diamankan polisi sebelum jatuh ke pasaran. Di kota minyak itu, sindikat obat kedaluwarsa ternyata bekerja pada salah satu rumah sakit di Balikpapan.
Obat-obatan palsu apa pun bentuknya tentu berbahaya, terutama untuk jenis obat-obatan vital seperti obat jantung, stroke atau berbagai jenis vaksin. Badan Kesehatan Dunia atau WHO melansir lebih dari 200 ribu pasien meninggal gara-gara mengonsumsi obat palsu setiap tahunnya.
Setelah Tatang tertangkap, kini masih ada puluhan pemain obat palsu lain yang masih beroperasi di Jakarta. Baik pemain obat palsu yang mendaur ulang sampah rumah sakit, maupun sindikat obat palsu pemalsu berbagai merek obat terkenal.
Sumber Sigi, seorang pemain obat palsu punya cerita yang menguatkan kenyataan itu. Menurut Macho, sebut saja demikian, peredaran obat-obat palsu sudah merambah ke kota-kota besar lainnya, seperti Surabaya dan Medan. Obat-obat tersebut didistribusikan melalui pasar-pasar atau toko-toko obat yang ada di Jakarta. "Selain itu ada sales-sales lepas PBF atau bekas distributor yang masih aktif atau tidak dan selalu berhubungan dengan orang di pasar obat," kata Macho.
Seperti apa sebenarnya jaringan dan cara kerja para pelaku obat palsu? Lika-liku jaringan mereka dimulai dari tempat sampah dan limbah sejumlah rumah sakit besar di Jakarta. Lalu, para pemulung menjual segala jenis obat, botol, suntikan, maupun botol infus kepada pengepul.
Dari tangan pengepul, pebisnis obat palsu mengemas serta mengisi ulang limbah-limbah itu menjadi layaknya obat sungguhan. Ada juga obat-obatan kedaluwarsa yang dijual begitu saja di sebuah pasar obat terkenal di Ibu Kota. Diduga, obat-obat kedaluwarsa tersebut biasa dijual kepada para pemain obat palsu.
Lantas bagaimana prosesnya? Obat kedaluwarsa, misalnya, dihapus tanggal batas pemakaiannya lalu disablon ulang menjadi seolah masih layak konsumsi. Sedangkan untuk jenis obat-obatan cair atau injeksi palsu, biasanya dibuat dengan cara mengganti label atau kemasannya. Ini bertujuan untuk mengelabui konsumen atau pasien seolah-olah obat injeksi bermutu tinggi karena mereknya terkenal.
Cara ketiga adalah mendaur ulang sampah-sampah rumah sakit menjadi obat palsu. Umpamanya, botol infus atau cairan suntikan kosong diisi dengan air atau mengganti isi serbuk injeksi dari yang murah menjadi mahal.
Ibarat virus, penyebaran obat palsu sudah sampai pada stadium gawat. Peredaran maupun jenisnya menyebar ke mana-mana. Tengoklah kedai-kedai obat keperkasaan yang banyak dijumpai di jalanan Ibu Kota. Di sana, satu butir sachet pil keperkasaan dijual antara Rp 25 ribu hingga Rp 30 ribu. Tidak lebih dari seperlima harga pil sama yang diproduksi farmasi resmi. Meski pembelinya tahu obat-obatan ini palsu, toh, tetap saja laku keras.
Berdasarkan data Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), selama lima tahun terakhir, jumlah obat palsu yang dirazia mencapai 80 merek obat. Jenisnya pil dan kapsul. Mulai dari obat tanpa resep yang biasa dijual warung-warung hingga obat-obatan etikal atau obat yang diresepkan dokter.
Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) bahkan menaksir, jumlah obat palsu yang beredar bisa berlipat-lipat temuan Badan POM. "Kalau obat sampah jumlahnya kecil. Dari investigasi kita terakhir, kebanyakan generik diganti kemasan bermerek," jelas Marius Widjajarta, Ketua YPKKI.
Perang melawan obat palsu memang bukan perkara mudah. Kalangan pabrikan justru sepertinya cuek dengan kenyataan itu. Maklum, jika mengakui ada salah satu obatnya yang dipalsu justru merugikan bisnis mereka.
Belakangan, gema perang melawan obat palsu banyak digalakkan para pabrikan farmasi asing yang tergabung dalam IPMG. Menurut Parulian Simanjuntak, Manager Eksekutif IPMG, obat-obatan yang dipalsukan biasanya yang laku keras di pasaran dan harga jualnya tinggi.
Serangkaian operasi memang digelar Badan POM dan aparat lainnya. Namun, obat palsu tetap saja beredar. Obat palsu diproduksi secara serampangan, jauh dari standar cara pembuatan obat yang baik atau CPOB. Husniah R. Thamrin, Ketua Badan POM, pelaku pembuat obat palsu harus dihukum seberat-beratnya. "Karena risikonya menyebabkan kematian," kata Husniah.
Bagaimana sesungguhnya membedakan obat abal-abal dengan yang asli? Jika secara fisik susah, cara paling jitu adalah dengan mengujinya ke laboratorium. Tim Sigi memperoleh obat-obat yang menurut informasi dari pedagang serta apoteker palsu. Obat-obat yang didapat itu kemudian dibawa ke Badan POM. Setelah diuji, ternyata benar, obat-obat tersebut terbukti kadarnya jauh di bawah standar agar berkhasiat. Orang farmasi menyebutnya obat substandar alias tiruan atau palsu.
Apa boleh buat, memang. Ketimbang salah pilih obat, sampai saat ini memang tak ada pilihan lain kecuali membeli obat di tempat resmi dan tentu atas resep dokter.(BOG/Tim Sigi)
0 comments:
Post a Comment