Tuesday, July 03, 2007

Bahaya [Tidak] Unsur Transgenik

Tahu dan tempe. Siapa yang tak tergoda dengan makanan khas Indonesia ini. Rasanya yang gurih lagi bergizi membuat tahu dan tempe digemari seluruh kelompok masyarakat mulai dari warga di kampung hingga presiden di istana. Tapi, tahukah Anda, tahu dan tempe yang terhidang di meja makan ternyata memakai bahan baku kedelai asal Amerika Serikat yang tak lain adalah kedelai hasil rekayasa genetika alias kedelai transgenik? Secara tak sadar, kita telah menjadi konsumen kedelai transgenik. Tanpa pernah kita tahu sama sekali.

Data resmi menyebut Indonesia setiap tahun mengonsumsi kedelai transgenik asal AS sebanyak 1,2 juta ton atau mencapai lebih dari 75 persen total konsumsi kedelai nasional. Bahkan, ada saat seluruh konsumsi kedelai impor Indonesia didatangkan dari AS. Padahal, nyaris 90 persen kedelai AS adalah kedelai hasil rekayasa genetika. Ironisnya, Departemen Pertanian AS menyatakan tak bertanggung jawab terhadap produk transgenik yang beredar ke pasar.

Apa pun faktanya, makanan transgenik telah merambah dapur sehari-hari warga Indonesia. Mulai dari tahu, tempe, kecap, kentang, buah-buahan, hingga susu bayi. Sejumlah makanan ringan impor juga ditengarai memakai bahan baku tanaman transgenik. Hal inilah yang beberapa waktu lalu disuarakan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. Hal inilah yang juga mengusik tim Sigi SCTV untuk menelisik keberadaan makanan transgenik di Indonesia, belum lama ini.

Menurut Ketua YLKI Huzna Zahir, pihaknya sejak 2002 hingga 2005 memantau dan menguji di laboratorium genetik terhadap sejumlah makanan berbahan kedelai, jagung, kentang, dan gandum. Baik yang beredar di pinggir jalan seperti tempe dan tahu, makanan ringan, hingga susu formula bayi di supermarket. Hasilnya, sejumlah produk makanan positif mengandung bahan transgenik. Huzna menambahkan bahwa bahan transgenik berbahaya bagi kesehatan mulai dari menyebabkan alergi hingga kematian [baca: YLKI Meminta Pemerintah Tegas Soal Produk Transgenik].

Namun, sejumlah produsen makanan yang disebut YLKI mengandung transgenik membantah hasil pengujian tersebut. Produsen susu bayi Nutrilon Soya mengklaim susu bayi buatannya tak memakai bahan baku kedelai transgenik. Sayang, dalam selembar surat yang diberikan kepada tim Sigi itu, pihak PT Nutricia Indonesia Sejahtera tak bersedia diwawancarai.

Apa sebenarnya bahan makanan transgenik? Secara singkat, tanaman transgenik adalah tanaman yang telah direkayasa bentuk maupun kualitasnya melalui penyisipan gen atau DNA binatang, bakteri, mikroba, atau virus untuk tujuan tertentu. Misal, tomat yang disisipi gen ikan agar tahan beku atau kedelai yang disuntik gen bakteri dalam tanah. Transgenik menjadi alternatif agar hasil panen tahan dingin, melimpah, dan tak mempan hama. Bahkan, tanaman direkayasa agar mampu membunuh hama yang menyerang tumbuhan tersebut.

Makanan rekayasa transgenik memang sudah menjadi kontroversi sejak 30 tahunan silam. Yang jadi soal adanya rekayasa gen alias kode pembawa keturunan dari suatu makhluk ke makhluk lain bahkan yang berbeda spesies sekali pun. Para aktivis pembela konsumen dan lingkungan mengecam rekayasa seperti itu karena dinilai kebablasan dan melawan kodrat alam. Selain tentu saja tak aman bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Tak heran jika di sejumlah negara termasuk Indonesia, produk transgenik kerap menuai protes.

Di AS sendiri, teknologi transgenik meluas sejak tahun 90-an. Data menunjukkan, 63 persen produksi jagung AS adalah transgenik demikian juga dengan 83 persen produksi kapas. Porsi terbesar adalah kacang kedelai yang mencapai 89 persen produksi. Tapi, tak semua pengembangan transgenik di AS berujung sukses. Sebagian kalangan memandang produk transgenik tak aman karena proses pembentukannya tak alami dan bisa menyebabkan mutasi yang luas. Citra transgenik yang negatif ini berujung kegagalan bagi sebagian petani. Produk pepaya hijau asal Hawaii yang tahan virus ringspot ditolak negara-negara pengimpornya macam Kanada dan Jepang.

Lalu, bagaimana dengan produk pangan transgenik lain seperti jagung, kedelai, dan buah-buahan? Jangan harap makanan tersebut ada di bagian buah dan sayur-sayuran segar di supermarket AS. Hampir seluruh produk transgenik di AS tak dijual dalam bentuk segar. Hasil pertanian tersebut diproses menjadi makanan atau minuman ringan. Sirup jagung misalnya, digunakan sebagai pemanis banyak minuman dan makanan. Tak seperti di Eropa, AS tak mensyaratkan pemberian label bagi produk yang mengandung unsur transgenik. Jadi tanpa disadari, warga AS juga mengonsumsi produk transgenik.

Walaupun hingga kini belum ada bukti bahwa produk transgenik berbahaya bagi kesehatan. Produk transgenik terus menuai kontroversi. Pengawasan pemerintah AS pun tetap kendor. Deptan AS memang mengontrol penanaman tumbuhan transgenik namun tak bertanggung jawab atas produk yang dilepas ke pasar. Absennya peran FDA (sejenis BPOM di Indonesia) terhadap produk pangan transgenik menyebabkan kebanyakan jagung dan kacang kedelai segar transgenik kerap menjadi makanan hewan dan ternak.

Pertanian transgenik saat ini telah merambah 21 negara dengan total luas lahan mencapai 90 juta hektare. Dalam 10 tahun terakhir, tingkat pertumbuhan mencapai 47 kali lipat. Nilai bisnis produk transgenik kini menembus Rp 50 triliun. Monsanto menjadi perusahaan AS yang merajai pasar pertanian transgenik dunia.

Namun di Indonesia, Monsanto kurang menuai sukses. Perusahaan ini bahkan mendapat izin mengkomersilkan puluhan ribu hektare kapas transgenik jenis bolgard di Bulukumba, Sulawesi Selatan, pada tahun 2000-an. Proyek ini gagal bahkan menuai protes petani. Pasalnya, hasil panen tak seperti yang dijanjikan Monsanto.

Jejak transgenik Monsanto juga ditemukan di Kediri, Jawa Timur. Sekitar empat tahun silam, perusahaan yang berkantor pusat di St. Louis, Missouri, AS ini menguji coba jagung round up yang tahan hama dan herbisida. Upaya ini pun berhenti di tengah jalan. Praktis, tak ada satu pun tanaman transgenik yang tumbuh di Tanah Air. Namun, ini tak berarti pasar Indonesia tak kebanjiran bahan pangan mau pun produk olahan berbahan dasar transgenik.

Buktinya, tim Sigi yang mencoba menelusuri konsumsi kedelai impor mendapati kenyataan yang mencengangkan. Kedelai AS menjadi primadona warga di Kediri yang selama ini terkenal sebagai kota penghasil tahu dan tempe terbesar di Jatim lantaran. Ini lantaran kedelai AS berkualitas baik dan bersih. Ironisnya, para perajin sama sekali tak tahu jika kedelai yang mereka beli adalah kedelai transgenik.

Tapi benarkah kedelai yang mereka pakai untuk membuat tahu adalah kedelai transgenik? Tim Sigi mencoba menguji tahu asal Kediri di laboratorium genetika yang terakreditasi secara internasional. Diujikan pula sejumlah produk pangan lain yang pernah diuji YLKI. Berdasarkan uji PCR (polymerase chain reaction, tahu-tahu dan produk makanan tersebut positif mengandung unsur transgenik.

Bisa dikatakan, produk transgenik tanpa disadari sudah menjadi makanan keseharian terutama makanan berbahan kedelai dan jagung impor. Kenyataan inilah yang disayangkan YLKI. Pemerintah dianggap tak berbuat banyak. Padahal di negara-negara Eropa, produk transgenik diberi label agar konsumen tahu dan bisa menentukan pilihan. Di Indonesia sendiri, telah terbit Peraturan Pemerintah No. 69/1999 dan PP No.28/2004 tentang Pencantuman Label Produk Transgenik. Namun hal ini seolah hanya menjadi macan kertas.

Badan Pengawas Obat dan Makanan sebagai lembaga yang bertugas mengawasi setiap peredaran obat dan makanan di negeri ini mempunyai sejumlah dalih. Kepala BPOM Husniah Thamrin menyebut bahan transgenik aman dan diperbolehkan beredar melalui Undang-undang Nomor 7 tentang Pangan yang diterbitkan tahun 1996. Husniah juga menunggu terbentuknya komite keamanan pangan dan produk transgenik.

Begitu juga Departemen Pertanian. Menteri Pertanian Anton Apriantono menjelaskan bahwa tak ada bukti ilmiah yang kuat bahwa unsur transgenik mengganggu kesehatan. "Yang diperlukan adalah pelabelan," tambah Anton Apriantono [baca: Label Transgenik dalam Kemasan Makanan Dianggap Perlu].

Jika sudah begini, semua terpulang kepada konsumen. Konsumen menjadi raja yang menentukan mau mengkonsumsi makanan hasil rekayasa genetika atau tidak. Konsumen memiliki banyak hak antara lain hak keamanan serta mendapat informasi yang benar dan tepat atas semua barang. Dan ironisnya, hak itu yang belum sepenuhnya didapat untuk kasus makanan berbahan transgenik di Tanah Air.(TOZ)

0 comments: