Categories
Hobbiest: Review
Berbeda dengan pengarang biografi lainnya, Fira Basuki mengemas perjalanan hidup Wimar Witoelar secara sederhana dan ringan, sehingga terkesan seperti novel. Kesan ringan, santai dan renyah sudah terbentuk saat pertama kali melihat sampul buku yang didominasi warna ungu ini. Foto Wimar dan Fira yang terpampang di sampul buku memberikan kesan yang segar.
Walau bergaya pop, buku ini tetep memakai struktur biografi formal. Ini terlihat dari tiap babnya yang menceritakan kehidupan Wimar dari kecil, dewasa, tua dalam aktivitas karier dan politiknya. Setiap bab tersambung indah. Misalnya pada bab dua yang bercerita tentang masa kecil Wimar, remaja dan dewasa. Dengan gaya bahasa lugas, Fira menggambarkan masa kecil Wimar secara simpel dan sastra ringan.
Alkisah, dimulai di suatu hari yang cerah dan indah, Wimar Jartika Witoelar Kaartadipoetra hadir menyapa dunia di Padalarang, Jawa Barat, 14 Juli 1945. Wimar adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Ayahnya, Raden Achmad Witoelar Kartaadipoetra (1910-1987), bekerja sebagai pegawai pada pemerintahan Hindia Belanda, menjadi camat dan wedana di beberapa wilayah Jawa Barat. Ibunya, Nyi Raden Toti Soetiamah Tanoekoesoemah (1914-1977) adalah ibu rumah tangga yang sempat aktif di organisasi wanita, termasuk Women's International Club. Ia sempat pindah-pindah tempat tinggal, mulai dari Bandung, Singapura sampai Tasikmalaya.
Agar tetap mengalir dan enak dibaca, pada bab ketiga Fira mengangkat masa berkarier dan bergelut dengan politik. Di bab ketiga ini, Fira mengilustrasikan Wimar bagaikan seekor kupu-kupu dan angsa. Ketika keluar kepompong lalu terbang, pernahkah Wimar bermimpi untuk hinggap di atas awan? Melihat semua kejadian dengan pandangan yang luas? Atau jika dia menjelma jadi angsa, pernahkah dia berangan-angan mengarungi samudra? Terapung-apung karena ombak, menelan garam, seraya mengamati rahasia lautan? Awan atau samudra, kupu-kupu atau angsa, pada akhirnya setitik di jagat raya.
Fira tdak saja menggambar sosok Wimar sebagai manusia idealis, sebagai angkatan 66, Wimar tidak tertarik dengan giuran politik. Tidak seperti kakaknya Rachmat Witoelar dan teman-teman seperjuangannya, Abdul Gafur, Cosmos Batubara, Sarwono Kusumaatmadja dan Akbar Tanjung. Wimar lebih memilih dunia bebas, netral dan tidak berpihak. Tahun 1972, saat menjadi dosen ITB, bersama mahasiswanya dia turun ke jalan, menentang kekuasaan Soeharto dan memasang spanduk besar bertuliskan, "Tidak Mempercayai Lagi Soeharto Sebagai Presiden Republik Indonesia." (Ajo)
Walau bergaya pop, buku ini tetep memakai struktur biografi formal. Ini terlihat dari tiap babnya yang menceritakan kehidupan Wimar dari kecil, dewasa, tua dalam aktivitas karier dan politiknya. Setiap bab tersambung indah. Misalnya pada bab dua yang bercerita tentang masa kecil Wimar, remaja dan dewasa. Dengan gaya bahasa lugas, Fira menggambarkan masa kecil Wimar secara simpel dan sastra ringan.
Alkisah, dimulai di suatu hari yang cerah dan indah, Wimar Jartika Witoelar Kaartadipoetra hadir menyapa dunia di Padalarang, Jawa Barat, 14 Juli 1945. Wimar adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Ayahnya, Raden Achmad Witoelar Kartaadipoetra (1910-1987), bekerja sebagai pegawai pada pemerintahan Hindia Belanda, menjadi camat dan wedana di beberapa wilayah Jawa Barat. Ibunya, Nyi Raden Toti Soetiamah Tanoekoesoemah (1914-1977) adalah ibu rumah tangga yang sempat aktif di organisasi wanita, termasuk Women's International Club. Ia sempat pindah-pindah tempat tinggal, mulai dari Bandung, Singapura sampai Tasikmalaya.
Agar tetap mengalir dan enak dibaca, pada bab ketiga Fira mengangkat masa berkarier dan bergelut dengan politik. Di bab ketiga ini, Fira mengilustrasikan Wimar bagaikan seekor kupu-kupu dan angsa. Ketika keluar kepompong lalu terbang, pernahkah Wimar bermimpi untuk hinggap di atas awan? Melihat semua kejadian dengan pandangan yang luas? Atau jika dia menjelma jadi angsa, pernahkah dia berangan-angan mengarungi samudra? Terapung-apung karena ombak, menelan garam, seraya mengamati rahasia lautan? Awan atau samudra, kupu-kupu atau angsa, pada akhirnya setitik di jagat raya.
Fira tdak saja menggambar sosok Wimar sebagai manusia idealis, sebagai angkatan 66, Wimar tidak tertarik dengan giuran politik. Tidak seperti kakaknya Rachmat Witoelar dan teman-teman seperjuangannya, Abdul Gafur, Cosmos Batubara, Sarwono Kusumaatmadja dan Akbar Tanjung. Wimar lebih memilih dunia bebas, netral dan tidak berpihak. Tahun 1972, saat menjadi dosen ITB, bersama mahasiswanya dia turun ke jalan, menentang kekuasaan Soeharto dan memasang spanduk besar bertuliskan, "Tidak Mempercayai Lagi Soeharto Sebagai Presiden Republik Indonesia." (Ajo)
0 comments:
Post a Comment