Categories
Hobbiest: Review
Setelah memicu kontroversi yang sempat membuat gonjang-ganjing dunia perfilman Indonesia, Koya Pagayo alias Nayato Vio Nuala kembali menyapa pecinta film Indonesia dengan karya terbarunya, “Lewat Tengah Malam”.
Judul film ini tidak memiliki korelasi yang signifikan dengan keseluruhan cerita film. Kecuali bahwa sebagian besar adegan film ini terjadi pada malam hari, tidak ada tanda yang bisa memastikan waktu, belum atau sudah lewat tengah malam. Seperti film horor Indonesia lainnya, “Lewat Tengah Malam” juga menyajikan cerita tentang pembalasan arwah penasaran terhadap pembunuhnya, lengkap dengan adegan khas film horor Indonesia umumnya seperti lampu byar pet, pintu atau gorden tersibak-sibak angin dan seterusnya.
Diceritakan, setelah bercerai dari suaminya Tara (Catherine Wilson) membawa anaknya Alice (Joanna Alexandra) pindah ke tempat tinggal baru di sebuah apartemen. Di apartemen ini Alice menemukan banyak keganjilan. Ia diteror hantu perempuan yang pernah dibunuh papanya. Bukannya percaya, Tara justru memarahi, menyiksanya dengan mengurung Alice di kamar. Puncaknya Tara menghantam pelipis Alice dengan botol sampai anak gadisnya itu tewas. Lantas dimasukkannya mayat Alice ke dalam lemari es.
Pada satu jam pertama, film ini hampir tidak memberikan pengalaman baru pada penonton film horor Indonesia. Hampir pada semua pengadeganan film ini, Koya Pagayo hanya mengulang-ngulang film-film dia sebelumnya. Antaranya adegan dikejar-kejar hantu yang ternyata hanya berlangsung dalam mimpi, jika bukan ilusi, tokoh-tokohnya. Sehingga kesan membosankan terasa lebih kuat ketimbang rasa penasaran yang ingin disodorkan.
Tetapi, setengah jam terakhir film ini memberi kejutan yang lumayan menarik. Adegan-adegan yang pada satu jam pertama tampak sia-sia ternyata punya kaitan dengan keseluruhan cerita. Termasuk sejumlah dialog di menit-menit pertama film ini merupakan rangkaian yang tidak terputus dari seluruh misteri yang baru akan terungkap pada menit-menit terakhir secara tidak terduga. Film ini memang cenderung rumit dirunut alurnya jika penonton tidak mengikuti secara jeli setiap adegan pada satu jam pertama. Namun kerumitan tersebut disajikan secara bersahaja. Dan teknik bercerita yang agak rumit ini tampaknya menjadi pilihan tak terhindarkan untuk mencapai kepaduan dan kepadatan cerita. Resikonya penonotn remaja yang menjadi sasaran film ini akan dibuat berkerut kening.
“Lewat Tengah Malam” menunjukkan kemajuan yang cukup menggembirakan dari seorang Koya Pagayo. Kali ini ia berhasil memberi sentuhan lain pada horor Indonesia. Yakni horor dengan sudut pandang arwah gentayangan itu sendiri. Potongan-potongan adegan yang hadir dengan teknik flashback yang serba sepintas berhasil menjadikan cerita film ini utuh. Secara logika, film ini jauh lebih nyambung ketimbang film-film Koya sebelumnya.
Koya juga mampu mengarahkan akting Catherine Wilson yang relatif berhasil menghidupkan karakter seseorang yang mengidap split personality dan Joanna Alexandra sebagai gadis berwatak introvert. Meski tidak secara mulus, kedua tokoh tersebut tampil dengan karakter yang terus mengalami perkembangan. Kemajuan lain Koya pada film ini juga tampak pada detilitas yang ditampilkan, misalnya suasana di sekolah SMA yang cukup natural.
Judul film ini tidak memiliki korelasi yang signifikan dengan keseluruhan cerita film. Kecuali bahwa sebagian besar adegan film ini terjadi pada malam hari, tidak ada tanda yang bisa memastikan waktu, belum atau sudah lewat tengah malam. Seperti film horor Indonesia lainnya, “Lewat Tengah Malam” juga menyajikan cerita tentang pembalasan arwah penasaran terhadap pembunuhnya, lengkap dengan adegan khas film horor Indonesia umumnya seperti lampu byar pet, pintu atau gorden tersibak-sibak angin dan seterusnya.
Diceritakan, setelah bercerai dari suaminya Tara (Catherine Wilson) membawa anaknya Alice (Joanna Alexandra) pindah ke tempat tinggal baru di sebuah apartemen. Di apartemen ini Alice menemukan banyak keganjilan. Ia diteror hantu perempuan yang pernah dibunuh papanya. Bukannya percaya, Tara justru memarahi, menyiksanya dengan mengurung Alice di kamar. Puncaknya Tara menghantam pelipis Alice dengan botol sampai anak gadisnya itu tewas. Lantas dimasukkannya mayat Alice ke dalam lemari es.
Pada satu jam pertama, film ini hampir tidak memberikan pengalaman baru pada penonton film horor Indonesia. Hampir pada semua pengadeganan film ini, Koya Pagayo hanya mengulang-ngulang film-film dia sebelumnya. Antaranya adegan dikejar-kejar hantu yang ternyata hanya berlangsung dalam mimpi, jika bukan ilusi, tokoh-tokohnya. Sehingga kesan membosankan terasa lebih kuat ketimbang rasa penasaran yang ingin disodorkan.
Tetapi, setengah jam terakhir film ini memberi kejutan yang lumayan menarik. Adegan-adegan yang pada satu jam pertama tampak sia-sia ternyata punya kaitan dengan keseluruhan cerita. Termasuk sejumlah dialog di menit-menit pertama film ini merupakan rangkaian yang tidak terputus dari seluruh misteri yang baru akan terungkap pada menit-menit terakhir secara tidak terduga. Film ini memang cenderung rumit dirunut alurnya jika penonton tidak mengikuti secara jeli setiap adegan pada satu jam pertama. Namun kerumitan tersebut disajikan secara bersahaja. Dan teknik bercerita yang agak rumit ini tampaknya menjadi pilihan tak terhindarkan untuk mencapai kepaduan dan kepadatan cerita. Resikonya penonotn remaja yang menjadi sasaran film ini akan dibuat berkerut kening.
“Lewat Tengah Malam” menunjukkan kemajuan yang cukup menggembirakan dari seorang Koya Pagayo. Kali ini ia berhasil memberi sentuhan lain pada horor Indonesia. Yakni horor dengan sudut pandang arwah gentayangan itu sendiri. Potongan-potongan adegan yang hadir dengan teknik flashback yang serba sepintas berhasil menjadikan cerita film ini utuh. Secara logika, film ini jauh lebih nyambung ketimbang film-film Koya sebelumnya.
Koya juga mampu mengarahkan akting Catherine Wilson yang relatif berhasil menghidupkan karakter seseorang yang mengidap split personality dan Joanna Alexandra sebagai gadis berwatak introvert. Meski tidak secara mulus, kedua tokoh tersebut tampil dengan karakter yang terus mengalami perkembangan. Kemajuan lain Koya pada film ini juga tampak pada detilitas yang ditampilkan, misalnya suasana di sekolah SMA yang cukup natural.
0 comments:
Post a Comment