Tuesday, July 03, 2007

Beras Kita Berklorin

Di tengah tersendatnya masa panen dan melambungnya harga beras, sebuah kabar mengejutkan datang dari Kota Tangerang, Banten, awal Januari silam. Di sejumlah pasar tradisional seperti Pasar Anyar, Malabar dan Ciledug beredar beras yang mengandung bahan pemutih berbahaya: klorin! Tak urung temuan Suku Dinas Pengawasan Obat dan Makanan Kota Tangerang itu membuat banyak pihak terperangah.

Dari sepuluh sampel beras berbagai jenis dan harga yang diteliti bisa disimpulkan, tak satu pun beras-beras itu yang tidak terkontaminasi klorin. Padahal, bahan kimia ini tidak diperuntukkan sebagai campuran makanan karena bersifat racun bagi tubuh. Menurut Kepala Sudin POM Kota Tangerang Wibisono, bila beras ini dikonsumsi terus menerus dalam jangka waktu lama bisa mengganggu fungsi pencernaan, hati, dan ginjal [baca: Di Tangerang Ditemukan Beras Berpemutih].

Penelusuran Tim Sigi ke sejumlah pedagang beras dan pengusaha penggilingan padi di berbagai tempat menemukan fakta zat pemutih yang melekat pada beras-beras itu tidak muncul dengan sendirinya. Penggunaan klorin adalah bagian dari praktik curang sejumlah pedagang beras dalam upaya menaikkan harga. Selain itu, umumnya beras-beras polesan tersebut merupakan beras stok lama yang sudah berbau dan rusak karena terlalu lama disimpan.

Dibandingkan dengan beras biasa yang terlihat kusam, beras berpemutih memang lebih laris dan harganya bisa melonjak hingga Rp 500 per kilogram. Jadi, tinggal dihitung besarnya keuntungan tambahan jika seorang pedagang bisa menjual puluhan ton beras polesan dalam sehari.

Sejumlah pedagang dan pengusaha penggilingan padi memberi kesaksian bahwa praktik memoles beras dengan pemutih sudah menggejala di banyak tempat. Jadi, tak ada jaminan kalau beras-beras itu hanya beredar di pasar tradisional dan di Kota Tangerang. Kuat dugaan beras yang sama juga beredar di Jakarta, Bogor dan Bekasi, Jawa Barat. "Di warung-warung kecil juga ada," ujar Sarmulih, seorang bandar beras.

Selain itu, para petani ternyata juga sudah lazim menggunakan zat pewangi. Bahkan, praktik ini dilakukan secara lebih terbuka. Menurut Direktur Pusat Riset Pangan dan Pertanian Asia Tenggara (Seafast) Purwiyatno Hariyadi, dalam praktik ini sangat jelas adanya unsur menipu konsumen. "Seolah-olah dikesankan itu adalah beras wangi," ujar Purwiyatno.

Untuk membuktikan kebenaran kabar itu, Tim Sigi membuntuti seorang pedagang beras besar di Kota Karawang, Jabar, saat berbelanja beberapa jenis bahan kimia. Ansor, sebut saja namanya begitu, membeli 250 gram kristal pemutih beras, sitrun dan setengah kilo pewangi beraroma pandan di dua toko kimia berbeda yang menjadi langganannya.

Sesampai di rumah Ansor pun mulai mengolah beras kusam menjadi bening. Setiap 20 liter air yang akan digunakan untuk merendam beras, dia mencampurkan dua sendok makan klorin dan sitrun. Sedangkan zat pewangi dicampurkan sebanyak 50 mili liter untuk setiap 10 liter air. Takaran itu cukup untuk mengubah satu ton beras biasa menjadi putih mengkilat serta wangi.

Tahapan selanjutnya adalah merendam beras dengan campuran zat kimia tersebut. Beras yang telah dipoles kemudian dikeringkan dengan cara ditabur sembari disemprot menggunakan campuran pewangi untuk kemudian kembali diaduk. "Beras harus didiamkan selama satu malam biar kering sebelum dimasukkan ke dalam karung," jelas Ansor.

Soal keuntungan, menurut Ansor, setiap satu ton beras yang dipoles bisa menambah pemasukan Rp 300 ribu. Itu merupakan keuntungan bersih setelah dikurangi biaya-biaya lainnya. Keuntungan akan makin bertambah jika beras-beras itu juga diberi pewangi, sehingga harganya makin terkatrol. Nilai nominal itu jelas sangat menggiurkan, apalagi dalam satu bulan, seperti pengakuan Ansor, dia bisa memoles setidaknya 40 ton beras.

Seorang pedagang lainnya, sebut saja Endang, menuturkan hal yang sama. Praktik memoles beras yang dilakukannya bermula dari ikut-ikutan teman sesama pedagang beras. Dia mengaku tergoda untuk memoles karena beras yang dihasilkan terlihat lebih bagus. "Kalau tidak pakai pemutih harganya di bawah," jelas Endang.

Di balik warna mengkilat yang menggoda, dia mengakui banyak kekurangan dari beras yang telah dipoles, seperti tidak tahan lama. Ini dimaklumi karena saat dipoles beras-beras itu sudah direndam air sehingga harus segera dikonsumsi. "Beras yang dipoles juga terasa kurang enak kalau dimakan," imbuh dia.

Di pasaran, klorin banyak diperjualbelikan dalam bentuk kalsium hipoklorida atau yang dikenal para pedagang kimia sebagai kaporit. Wujudnya bisa berupa bubuk atau briket padat. Bentuk klorin lain ada dalam senyawa kimia sodium clorite yang berbentuk kristal putih. Ada pula klorin murni yang berbentuk gas berwarna kekuning-kuningan. Tapi, klorin jenis ini langka dan sangat mahal, sehingga kecil kemungkinan dipakai para petani.

Klorin sendiri sebenarnya zat kimia yang berfungsi sebagai desinfektan atau pembunuh kuman. Zat kimia ini bersifat racun bagi tubuh yang dalam perdagangan internasional disimbolkan dengan lambang tengkorak. Kendati demikian, di Indonesia klorin bisa diperjualbelikan secara bebas lantaran tak ada larangan untuk itu.

Menurut Ketua Asosiasi Pedagang dan Pemakai Bahan Berbahaya, Philipus P. Soekirno, bahan pemutih berupa kaporit atau klorin lazimnya digunakan untuk membunuh bakteri dalam air. Selain itu kerap pula digunakan pada industri tekstil serta untuk menyegarkan ikan. "Klorin sebagai bahan pengawet sama sekali belum pernah dibahas," jelas Philipus.

Kalau kemudian klorin digunakan untuk memutihkan beras, menurut Philipus adalah satu masalah dari sekian masalah yang timbul akibat tidak jelasnya regulasi yang dibuat pemerintah. Hingga kini, belum ada aturan tegas yang menyoal tentang bisnis zat berbahaya di Indonesia. "Ini persoalan besar yang harus diselesaikan pemerintah," tegasnya.

Penelusuran Tim Sigi ke sejumlah pedagang beras yang menggunakan pemutih juga mendapati kristal pemoles yang bertahun-tahun dipakai ternyata memiliki bau dan bentuk berbeda dibandingkan klorin yang lazim diperjualbelikan pedagang bahan kimia. Bentuknya bening dan tidak mengeluarkan bau menyengat seperti klorin.

Purwiyatno yang disodori sejumlah bentuk beras berklorin dan yang menggunakan kristal pemutih, dari bau dan fisiknya kristal pemutih itu bukan jenis klorin. "Itu mungkin zat lain, tapi kita belum tahu," ujar dia. Yang jelas, Purwiyatno memastikan bahwa beras akan kehilangan kandungan gizinya jika dipoles hingga putih bersih.

Ironisnya, pemerintah belum melihat kasus beras yang terkontaminasi zat kimia klorin sebagai masalah besar. Bahkan, antara Departemen Pertanian dan Badan POM justru seperti saling lempar tanggungjawab. Deptan merasa tanggung jawab menarik beras-beras berpemutih itu ada di tangan Badan POM. Sebaliknya, Badan POM menilai Deptan yang sebenarnya memiliki kewenangan itu [baca: Badan POM Tidak Berwenang Menarik Beras Berpemutih].

Terlepas dari masalah itu, yang jelas penelitian untuk menelisik lebih dalam akibat mengkonsumsi beras berklorin terus dilakukan. Termasuk untuk menjawab apakah kandungan klorin bisa hilang setelah beras dimasak menjadi nasi.

Meski hasil penelitian Dinas Kesehatan Kota Tangerang baru akan dirilis pekan depan, Tim Sigi sudah mendapatkan bocoran informasi. Disebutkan, klorin tetap melekat sampai beras itu telah dimasak menjadi nasi. Hanya saja, kadarnya memang sudah berkurang.

Namun, apa pun alasannya, praktik ini tetap saja tidak dibenarkan, baik dari sisi hukum dan kesehatan. Perlu ada langkah tegas untuk menyelamatkan masyarakat dari praktik penipuan ini. Langkah itu bisa diawali dengan mempertegas regulasi peredaran zat kimia berbahaya serta memberi sanksi hukum bagi petani yang dengan sadar telah merusak kesehatan konsumen.(ADO/Tim Sigi SCTV)

0 comments: