Sunday, May 06, 2007

Menggugat Karma Buruk Seorang Bocah Malang

BANYAK orang sering terheran-heran melihat nasib malang seseorang yang padahal selalu berbuat kebaikan. Contohnya seseorang yang dikenal sangat mulia hatinya, namun menemui kematian secara mengenaskan, dibunuh oleh penjahat yang mengincar hartanya, misalnya. Mungkinkah Tuhan tidak bertindak adil? Mungkin pula dalam hati kecil Anda terkadang berprasangka Tuhan telah berbuat tidak adil karena kesialan yang tengah menimpa Anda? Ada sebuah kisah legenda dari dongeng Tiongkok untuk menjawab keraguan Anda tersebut. Begini ceritanya seperti dikutip dari bacaan Sekolah Minghui.Terjadi pada zaman Song Utara, saat Pao Kong (alias Bao Zheng) menjabat sebagai Xiang (Hakim Agung pada zaman Tiongkok kuno).

Di sebuah desa hidup seorang anak yatim piatu berusia sepuluh tahun yang menderita cacat kaki. Hidupnya sangat menderita hanya mengandalkan bantuan para tetangga dan warga desa atau mengemis demi menyambung hidup. Di perbatasan desa mengalir sebuah sungai, warga desa dan pendatang harus berbasah-basah saat melewatinya, terutama bagi orang tua yang berusia lanjut sangat menyulitkan. Setiap kali air sungai meluap orang tak bisa menyeberang. Tahun berganti tahun, tiada yang berikhtiar ingin mengubahnya.Sampai sekarang,orang mulai melihat si bocah cacat tekun mengangkat batu besar dan menatanya di tepi sungai. Ketika ditanya untuk apa batu-batu itu ia menjawab, "Aku ingin membangun sebuah jembatan, agar tetangga dan warga desa bisa leluasa lewat." Orang-orang beranggapan ia berkhayal, malah kebanyakan tertawa meledek.
Namun lambat laun, bulan berganti tahun, bebatuan telah menumpuk bagaikan bukit. Warga desa mulai berubah pendirian, mereka merasa terharu pada semangat si bocah hingga ikutan membantu mengangkut batu serta mulai membangun jembatan. Para warga pun mengundang beberapa tukang dan memulai pembangunan jembatan. Si bocah cacat dengan sepenuh jiwa raga berpartisipasi.
Belum sampai jembatan selesai dibangun, saat membelah sebuah batu besar, pecahannya meletik dan melukai sepasang matanya hingga menjadi buta. Orang-orang menyayangkan, menggerutu, bahkan menyalahkan Thian (Tuhan) tidak adil. Anak yang begitu patut dikasihani, yang telah sepenuh hati berkorban demi orang banyak malah memperoleh musibah. Akan tetapi si bocah sama sekali tak mengeluh, setiap hari tetap muncul di proyek pembangunan jembatan itu meskipun tertatih-tatih, dengan meraba-raba ia mengerjakan apa saja yang bisa dikerjakan. Akhirnya jembatan selesai dibangun melalui gotong-royong warga. Semua orang di pesta syukuran menatap si bocah yang sudah cacat kaki dan hidup sebatang kara sekarang ditambah buta matanya dengan rasa terima kasih, iba dan sayang. Si bocah sendiri walau tidak bisa melihat apa pun, tetap tersenyum bahagia.
Di luar dugaan mendadak turun hujan deras yang tak sesuai musim, seolah-olah hendak mencuci debu yang menempel di jembatan batu tersebut. Hujan dan geledek gemuruh menunjukkan pamornya. Tiba-tiba petir berkelebat menyilaukan hingga semua orang menutup mata mereka, disusul suaranya meledak bak hendak memecahkan gendang telinga. Ketika semua orang membuka mata mereka kembali, mereka menemukan si bocah telah tersambar petir, terkapar di tanah tanpa nyawa lagi. Semuanya tersentak kaget, diikuti luapan perasaan sedih, mengeluh kenapa si bocah begitu buruk nasibnya, dan menuding Thian tidak adil ....
Saat itulah Pao, yang dijuluki rakyat kecil sebagai Hakim yang Bersih dan Adil, dalam perjalanan dinas melewati desa itu. Rakyat berbondong-bondong menghadang tandunya tersebut untuk memohon keadilan bagi si bocah malang. Kepala Desa bertanya, "Mengapa orang baik tak memperoleh imbalan baik? Untuk selanjutnya bagaimana bisa menjadi contoh orang yang baik? Mungkin orang malah berpendapat lebih enak berbuat jahat saja?"
Hakim Pao yang kenyang makan asam garam dunia, tergugah oleh emosi penduduk desa, mengayun kuas pit dan menulis 6 aksara, "Mana-boleh Berbuat Jahat Tidak Berbuat Bajik?". Kemudian mengibaskan lengan bajunya yang panjang sambil memerintahkan melanjutkan perjalanan.
Tiba di kota raja, Hakim Pao menghadap Raja untuk melaporkan hasil perjalanan dinas dan semua peristiwa yang telah dilihat dan didengarnya, tapi tentang cerita tulisannya malah tidak diungkap. Sesungguhnya dalam hati Pao sangat tidak memahami masalah nasib si bocah malang yang berbuat kebajikan malah menuai imbalan buruk. Tak dinyana Raja kemudian mengundang Pao kebagian belakang istana untuk membicarakan persoalan pribadi. Ternyata beberapa hari lalu, Baginda telah dikaruniai seorang bayi yang sangat menggemaskan semua orang, akan tetapi si bayi sepanjang hari menangis terus. Maka ia khusus mengundang Pao menengoknya. Terlihat oleh Pao bahwa kulit bayi tersebut mulus bagai salju namun pada lengan mungilnya terdapat sebaris tulisan. Saat diamati lebih dekat, itulah enam aksara, "Mana-boleh Berbuat Jahat Tidak Berbuat Bajik?", yang telah ditulisnya. Sekejap muka Pao memerah dan mengulurkan tangan untuk memegang lengan si bayi. Aneh, tulisan itu dalam sekejap lenyap tak berbekas. Baginda yang menyaksikan toh (tanda kelahiran) pada lengan putra mahkotanya dihapus oleh Pao merasa kaget. Jangan-jangan akar rejeki akan ikut lenyap, langsung ia mencela tindakan Pao. Si Hakim Agung cepat bersujud dan berkata, "Hamba yang berdosa patut mati." Maka dituturkanlah ihwal tulisan itu. Baginda juga merasa masalah itu janggal hingga menitahkan Pao menggunakan Bantal Mustika Yin-Yang untuk menyelidiki dengan tuntas sampai ke alam baka. Inilah bantal sakti satu-satunya di dunia milik Raja Song. Barangsiapa tidur berbantalkan Bantal Mustika Yin-Yang setelah menyucikan dan membersihkan diri, akan mendapatkan suatu mimpi atau wangsit.
Demikianlah Hakim Pao dengan perantaraan Bantal Mustika Yin-Yang berkelana sejenak ke alam baka untuk mengusut tuntas misteri kehidupan si bocah cacat. Ternyata anak malang tersebut pada masa kehidupan sebelumnya telah sering berbuat jahat dan karma buruknya sangat besar. Untuk melunasi dosa kejahatan pada masa kehidupan lalunya diperlukan tiga masa kehidupan baru bisa melunasi imbalan kejahatannya dengan tuntas. Sebenarnya Dewa telah mengatur, pada masa kehidupan pertama dengan kaki cacat dan sebatang kara; masa kedua dengan sepasang mata buta dan hidup sengsara, dan pada masa kehidupan ketiga ia tersambar petir terkapar mati di ladang liar. Anak tersebut pada reinkarnasi masa kehidupan pertama terlahir cacat kaki dan sangat miskin, tetapi selalu ingin berbuat baik pada orang lain untuk menebus dosa masa lampaunya. Karena itulah Dewa lantas mengatur agar pada masa kehidupan pertama, ia bisa melunasi karma kedua. Untuk itu dibuatlah terluka matanya sampai buta. Namun anak tersebut tidak mencela Langit dan menyalahkan orang lain, terus saja berbuat kebaikan demi orang lain. Maka Dewa mengatur karma yang semestinya dibayar pada masa kehidupan ketiga sekaligus dituntaskan pada satu masa kehidupan, oleh karena itu mati tersambar petir. Raja Neraka Giam-Lo-Ong (Yen-Lu-Wang) bertanya pada Pao, "Tiga masa karma buruk telah dilunasi hanya dalam satu masa, coba bilang ini baik atau tidak? Satu masa kehidupan melunasi hutang karma tiga masa kehidupan, karena tekun melaksanakan kebajikan. Dalam hati hanya memikirkan orang lain, nyaris tak memikirkan diri sendiri, dalam beberapa bidang tertentu telah mencapai taraf tingkatan; 'Tidak berkultivasi Tao namun berada di dalam Tao', telah mengakumulasi berkah sangat banyak, karena itulah sesudah meninggal segera reinkarnasi (menitis) sebagai Putra Mahkota."
Pesan moral dari dongeng tersebut, kalau Anda sekarang kebetulan sedang mengalami nasib malang bertubi-tubi, janganlah terburu-buru menyalahkan Tuhan, karena mungkin sedang menjalani karma dari perbuatan buruk Anda sendiri dalam kehidupan lalu .

0 comments: