Wednesday, April 25, 2007

Nagabonar Jadi 2

Film sekuel selalu mempunyai resiko untuk meneruskan, dan menjelas-jelaskan peristiwa-peristiwa atau adegan-adegan yang terjadi di film sebelumnya, dan sebaliknya menjelaskan kaitan peristiwa yang terjadi kini dengan yang terjadi di film sebelumnya. Hal serupa ini terjadi juga pada “Nagabonar Jadi 2” yang merupakan sekuel dari “Nagabonar”. Upaya menghadirkan penjelasan atas peristiwa sebelumnya, dan kaitannya dengan peristiwa kini, ini yang kadang jadi persoalan. Seringkali muncul kesan dipaksakan supaya nyambung dengan film sebelumnya. Maka dibuatlah jalan cerita yang penuh kebetulan. Sesuatu yang kebetulan biasanya sulit dicari logika sebab akibatnya. Pertemuan Naga Bonar dengan musuhnya dulu yang kini jadi staf ahli menteri saat ia menghadiri peresmian pabrik baru Bonaga, merupakan antara lain peristiwa kebetulan.

Jika pada “Nagabonar” tokoh Nagabonar merupakan sosok jenderal, mantan pencopet, yang muda, tangkas, tapi buta huruf, dengan karakter lugas, pemberani dan kocak. Maka pada sekuelnya Nagabonar telah menjadi sepuh, jalannya pun tidak lagi tegap, bahkan sedikit terpincang. Tinggalnya pun tidak lagi di daerah perbukitan di Medan, melainkan di Jakarta dengan segala kemewahan yang diberikan putra semata wayangnya, Bonaga (Tora Sudiro).

Putra semata wayangnya ini memiliki kemiripan dengan sang Bapak: tidak berani mengungkapkan cinta pada wanita, hormat pada orang tua, dan menjunjung tinggi persahabatan. Bedanya Bonaga mengenyam pendidikan luar negeri dan pintar berbisnis. Dia memiliki tiga orang teman Jaki (Mike Muliadro), Pomo (Darius Sinathrya), dan Roni (Uli Herdinansyah). Mereka ini yang menjadi tangan kanan Bonaga dalam berbisnis.

Bonaga mengundang sang bapak datang ke Jakarta. Maka terjadilah segala tingkah konyol ala orang desa yang baru melihat Jakarta. Melihat papan iklan yang memamerkan tubuh kekar Ade Rai, Nagabonar berseru, “Ini pasti menteri olahraga,”. Diantar sopir bajay bernama Umar (Lukman Sardi), Nagabonar keliling Jakarta. Kekonyolan orang desa baru melihat kota ini yang dieksploitasi menjadi bahan tertawaan paling sedap.

Tapi beruntung kekonyolan yang ditampilkan tidak sampai jatuh pada slapstik. Nagabonar tetap muncul sebagai sosok yang sangat manusiawi. Meski sudah sepuh dan rajin beribadah, keahliannya mencopet tidak pernah hilang. Bahkan sesekali mempraktikkannya. Sosok Bonaga yang meniru (hampir) habis watak sang bapak ini justru agak aneh. Berpendidikan luar negeri, tampan, pintar, kaya, tapi tidak bisa mengungkapkan cinta pada pacarnya, Bonita (Wulan Guritno). Kebingungan karakter ini yang tampaknya membuat akting Tora jadi kurang maksimal. Kehadiran tiga orang temannya pun sebenarnya tidak memberi fungsi yang mantap terhadap keseluruhan cerita.

Ketiga kawannya yang mempunyai latar belakang berbeda, baik latar belakang etnik, agama maupun pola berpikir agaknya ditampilkan lebih untuk menyampaikan pesan tentang kerukunan di tengah keberagaman. Kerukunan di tengah keberagaman merupakan satu dari begitu banyak pesan besar yang hendak disampaikan “Nagabonar Jadi 2”. Beruntungnya lagi-lagi, pesan besar seperti patriotisme, nasionalisme, cinta sesama, persahabatan semua disampaikan secara bersahaja. Penonton pun bisa terpingkal menyaksikan akting Jaja Miharja yang menjadi bencong. Bisa pula terharu melihat Umar (Lukman Sardi) si sopir bajay yang saleh. Yang disebutkan terakhir sayangnya kurang menggigit. Lukman Sardi masih tampak Lukman Sardi, belum tampak sebagai sopir bajay. Mike up-nya kurang dekil, dan karakternya yang agak sentimentil.

Secara penuh “Nagabonar Jadi 2” sungguh menarik. Dialog dan plot mengalir lancar, ditambah editing yang rapi serta sinematografi yang menawan membuat film ini enak dinikmati sebagai hiburan yang penuh makna. (Aris Kurniawan)

0 comments: