Monday, January 01, 2007

Long Road to Heaven

Oleh Aris Kurniawan

Peristiwa besar dalam sejarah sering mengilhami sineas membuat film. Baik hanya sebagai latar belakang, maupun mengangkatnya sebagai latar depan. Serangan tentara Jepang ke Pearl Harbor menginspirasi Michael Bay membuat film “Peral Harbor”, Oliver Stone memfilmkan tragedi pengeboman World Trade Center di New York. Tentu saja itu hanya dua dari sekian deret film yang diangkat dari sebuah peristiwa besar dalam sejarah. Di Indonesia sendiri ada film “Tragedi Bintaro” yang diangkat dari peristiwa tabrakan kereta yang menewaskan ratusan orang, ada juga “Serambi” yang mengambil latar pasca gempa tsunami. Dan yang paling anyar adalah “Long Road to Heaven” yang diangkat berdasarkan peristiwa pengeboman di Legian, Bali.

Melalui “Long Road to Heaven” Enison Sinaro mencoba merekontruksi rentetan peristiwa yang berpuncak pada pengeboman di Bali melalui tiga alur. Alur pertama, digambarkan jaringan kelompok teroris yang mengatur strategi pengeboman. Dalam kelompok teroris tersebut ternyata juga terdapat beberapa faksi yang tidak sejalan. Hambali (diperani Surya Saputra) yang digambarkan sebagai pemimpin tertinggi pada awalnya tidak sepakat dengan Bali sebagai target pengeboman. Hambali merencanakan pengeboman dilakukan di Singapura. Muklas yang mengajukan Bali sebagai target pengeboman. Dengan sejumlah perhitungan yang rasional, mereka akhirnya menyepakati ide Muklas.

Maka dimulai proyek itu dengan melibatkan Amrozi, Imron, dan Imam Samudera. Ketiga orang ini pun rupanya juga tidak begitu harmonis. Amrozi tidak begitu senang dengan penunjukan Imam Samudera sebagai pemimpin proyek. Enison cukup berhasil menggambarkan ketegangan dalam internal kelompok teroris ini. Baik dari dialog-dialog yang terlontar, maupun gestur dan karakter setiap tokohnya tergarap dengan mulus.

Alur kedua, diceritakan Hannah Catrelle (Mirrah Foulkes) seorang warga Amerika yang tinggal di Bali ketika bom meledak. Ia bertemu di dengan Haji Ismail, lelaki muslim yang tinggal di Bali. Bersama para relawan lainnya mereka membantu para korban. Dari pertemuan dengan Ismail, Hannah mengerti bahwa tidak semua muslim setuju dengan pengeboman tersebut. Sikap ini membuatnya sedikit bersitegang dengan seorang korban dari Australia.

Dan alur ketiga, digambarkan Liz Thompson (Raelle Hill), seorang wartawan Australia yang datang ke Bali tujuh bulan pasca-pengeboman. Kedatangan Liz disamping untuk meliput proses persidangan para pelaku pemboman, juga untuk mencari bahan guna menulis tentang peristwa tersebut. Liz dibuat tidak habis pikir dengan sikap beberapa orang Bali terhadap peristiwa tragis tersebut. Dari beberapa yang berhasil diwawancara mereka cenderung tidak marah dan menyimpan dendam terhadap para pelaku. Bahkan peristiwa tersebut dikaitkan dengan kemarahan para dewa.

Termasuk Wayan Diya (Alex Komang) sopir taksi yang mengantar Liz Thompson. Meski saudaranya menjadi korban pengeboman, Wayan memaafkan para pelaku. Meski demikian tetap diperlihatkan kegeraman Wayan terhadap Amrozi saat dirinya melihat proses persidangan. Hampir seluruh pemain menampilkan kemampuan akting yang memikat dengan dialog-dialog yang cukup kuat.

Ketiga alur ini tampil bergantian dengan teknik flasback. Tokoh-tokoh dari ketiga alur ini tidak pernah saling bersinggungan sama sekali sepanjang film berdurasi 120 menit ini. Sehingga kita hanya disuguhi potongan-potongan peristiwa serupa puzzle yang kurang mampu membetot emosi. Potongan-potongan gambar dan berita mengenai peristiwa tersebut di televisi jauh lebih membetot emosi. “Long Road to Heaven” lebih menyerupai film dokumenter yang kering, datar dan hampir kehilangan unsur dramatis dari peristiwa yang mengangakan luka mendalam bagi kemanusiaan tersebut.

0 comments: