Monday, November 13, 2006

Koper

Banyak hal yang paradoksal dalam kehidupan ini. Seorang koruptor bisa tampak seperti pahlawan yang sangat berjasa dan mengagumkan. Sebaliknya, orang yang berusaha konsisten pada kejujuran, justru mengalami kesialan, tak jarang menjadi korban persaingan pihak-pihak yang kurang menghargai kejujuran.

Inilah kurang lebih yang hendak sampaikan “Koper”. Film drama satir garapan perdana Richard Oh. Penyampaian gagasan dengan gaya satir, suatu gaya menyindir yang lancarkan secara halus dan paradoks, tak banyak dilakukan sineas kita. Dari yang tak banyak itu, Ucik Supra barangkali bisa disebut sebagai sineas yang gemar menggunakan gaya satiris dalam film-film yang digarapnya. Sebut saja “Badut-Badut Kota”, dan “Om Pasikom”.

Film “Koper” yang dirilis Agustus 2006 ini, merupakan film dengan semangat menyindir-nyindir semacam itu. Seperti halnya Ucik Supra, Richard mencoba mengungkap kehidupan masyarakat urban dengan segenap problematikanya dalam menyiasati himpitan hidup di kota besar yang materialitis. Bedanya, jika Ucik menghadirkan sindirannya secara komedi, Richard melalui drama yang cenderung serius dan agak-agak “berat”.

Diceritakan, Yahya, seorang pegawai bagian arsip yang terabaikan, suatu malam, dalam keadaan mabuk sepulang dari Café Betawi, menemukan koper. Paginya stasiun televisi menyiarkan berita perampokan di sebuah bank. Berita tersebut tak pelak menumbuhkan dugaan, koper yang ditemukan Yahya adalah milik bank yang dirampok.

Seiring dengan itu, kehidupan Yahya yang semula begitu sahaja, jadi berubah. Semua orang mendadak memperlakukannya seperti orang terhormat. Perubahan ini membuat Yahya merasa tidak nyaman. Yahya merasa tidak berhak atas isi koper tersebut. Ia berusaha mencari pemiliknya untuk dikembalikan. Bahkan ketika istrinya jatuh sakit dan memerlukan biaya pengobatan, Yahya tetap bersikukuh tidak akan membuka koper. Yahya lebih rela menjual satu-satunya harta yang dibanggakannya: koleksi piringan album P Ramlee. Semua orang memandang sikap Yahya sebagai sesuatu yang absurd.

“Orang-orang melakukan apa saja untuk istrinya. Kamu, apa susahnya membuka koper itu?” ujar kakar ipar Yahya.

Hanya Noni, pelayan Café Betawi langganannya yang tidak tertarik pada koper yang selalu ia bawa ke mana-mana. Sikap Noni membuat Yahya merasa nyaman, sehingga di antara mereka terjalin perkawanan.

Ide cerita Koper sesungguhnya sederhana. Jika yang tampil di layar terasa serius dan rumit mungkin karena penulisan skenarionya yang belum terampil. Sehingga plot terasa meloncat dan kurang runut, dan agak tak logis. Misalnya, dari mana Yahya mengetahui nomor seri mobil yang dikendarai Tides, orang yang diduga pemilik koper. Mungkinkah seorang yang sedang mabuk, pada malam yang gelap pula, sempat melihat dan mengingat nomor seri mobil yang melintas di jalan? Juga tidak ada penjelasan bagaimana pramusaji bernama Noni (Djenar Maesa Ayu) bisa begitu cerdas.

Peran Jaduk Ferianto pun perlu dipertanyakan fungsinya. Jika sebagai orang gila, kostumnya tampak terlalu modis, aktingnya pun layaknya sedang beraksi di atas panggung teater.

Akting Anjasmara patut mendapat pujian. Di film ini ia mampu melepaskan tipikal kesinetronannya. Penggarapan musik, dan tampilan gambar film ini pun cukup baik dan melegakan.

Sebagai film debutan, “Koper” cukup nyaman dinikmati. Dan tentunya, di tengah dominasi film-film horor yang menghina kecerdasan dan drama percintaan remaja yang mengawang-ngawang, “Koper” mampu memberikan tontonan alternatif yang kontemplatif dan menyegarkan. (Aris Kurniawan)

0 comments: